Wartaindonesia.web.id, Tuxtla Gutierrez, Meksiko – Detik-detik terakhir Jesus Alain Vasquez Perez terekam dalam rekaman kamera pengawas berkualitas rendah yang dipasang tinggi di atas jalan raya Chicoasen.
Rekaman itu hanya berdurasi beberapa detik. Tiba-tiba, tiga kendaraan melintas dengan kecepatan tinggi: sebuah truk pick-up dikejar oleh dua mobil patroli polisi, dengan sirene merah menyala di tengah gelapnya malam.
Salah satu mobil polisi berhasil menyalip dan memotong laju truk pick-up, seolah-olah berusaha memperlambatnya. Namun, di saat itu pula, terlihat seseorang terjatuh dari bak truk.
Tubuh itu terguling di jalan, lalu terdiam. Mobil patroli kedua berusaha menghindarinya.
Malam tanggal 15 Mei itu, Tuxtla Gutierrez, ibu kota negara bagian Chiapas di Meksiko selatan, sedang dilanda gelombang protes. Para mahasiswa dari Sekolah Tinggi Keguruan Mactumatza turun ke jalan menuntut akses pendidikan yang lebih baik dan sumber daya yang memadai.
Salah satu dari mereka, Maria (nama samaran), adalah mahasiswa berusia 20 tahun yang malam itu memilih beristirahat di asrama. Namun ia segera bergegas keluar ketika mendengar kabar bahwa salah satu rekannya mengalami kecelakaan.
Maria pergi untuk mencari tahu sendiri. Ia menemukan Vasquez tergeletak tak bergerak di jalan raya.
“Saya naik ke jalan untuk melihat, dan dia sudah di tanah, berdarah,” kata Maria. “Saya sangat terkejut. Ini benar-benar di luar dugaan. Dia hanya ikut aksi protes.”
Apa yang sebenarnya terjadi hingga Vasquez terjatuh dari truk malam itu menjadi topik perdebatan besar di hari-hari berikutnya. Peristiwa ini, menurut para ahli, mencerminkan betapa dalamnya ketidakpercayaan antara polisi negara bagian dan kalangan mahasiswa miskin di Meksiko.
Jejak Panjang Aktivisme
Sekolah Mactumatza, tempat Vasquez menuntut ilmu, terletak tak jauh dari lokasi kecelakaan. Sekolah ini termasuk dalam jaringan nasional normal schools, yakni perguruan tinggi keguruan yang dibiayai pemerintah dan memberikan fasilitas pendidikan serta asrama secara gratis bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu.
Sejarah sekolah normal di Meksiko sudah ada sejak awal abad ke-20, pascarevolusi. Kurikulumnya sering kali menekankan keadilan sosial, dan lulusannya diarahkan untuk mengabdi di daerah-daerah tertinggal.
Namun semangat perjuangan sosial yang tertanam dalam sistem pendidikan ini juga menjadikan kampus-kampus tersebut sebagai pusat aktivisme mahasiswa. Para siswanya, yang dikenal sebagai normalistas, dikenal aktif melakukan protes.
Aksi mereka bisa berupa blokade jalan hingga mengambil alih gerbang tol. Salah satu aksi yang paling dikenal adalah pengambilalihan bus lokal secara damai sesuatu yang begitu umum hingga para sopir biasanya langsung turun tanpa perlawanan.
Profesor Tanalis Padilla, sejarawan dari MIT, mengatakan bahwa reaksi publik terhadap aksi normalistas cenderung terbagi. Sebagian mendukung penuh, tapi tak sedikit pula yang menganggap mereka sebagai pengacau.
Menurut Padilla, pemberitaan media yang cenderung negatif memperkuat stigma ini. “Media selalu memusuhi mereka, menyebut mereka sebagai perusuh,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa anggapan ini muncul karena sekolah normal menganut pendekatan pendidikan yang condong ke arah sosialisme dan kolektivisme. “Pada era Perang Dingin tahun 70-80an, media menggambarkan sekolah ini sebagai pusat radikalisme dan gangguan sosial.”
Tak jarang aksi para normalistas berujung bentrok dengan aparat, bahkan memakan korban jiwa. Kasus paling terkenal terjadi pada September 2014, ketika 43 mahasiswa dari Sekolah Tinggi Keguruan Ayotzinapa hilang setelah mengambil alih sebuah bus untuk bergabung dalam aksi protes di ibu kota.
Hingga kini, tidak satu pun dari 43 mahasiswa itu ditemukan dalam keadaan hidup. Sisa-sisa jasad yang terbakar dari tiga di antaranya baru teridentifikasi melalui uji DNA.
Tragedi Ayotzinapa memicu gelombang solidaritas nasional dan internasional terhadap normalistas. “Peristiwa itu begitu mengerikan hingga menimbulkan simpati luas,” kata Padilla.
Sejarah yang Berulang
Bagi para mahasiswa di Tuxtla Gutierrez, kematian Vasquez terasa menyayat karena terjadi hanya beberapa hari sebelum peringatan insiden serupa.
Pada 18 Mei 2021, para mahasiswa Mactumatza menggelar aksi menentang ujian berbasis daring. Mereka menilai kebijakan itu tidak adil bagi mahasiswa dari keluarga miskin yang tidak memiliki akses internet atau perangkat memadai.
Dengan lebih dari 76% penduduknya hidup dalam kemiskinan, Chiapas adalah negara bagian termiskin di Meksiko.
Namun aksi tersebut berujung pada penangkapan besar-besaran. Sebanyak 93 mahasiswa ditahan, dan Amnesty International mengkritik keras tindakan aparat, menyebutnya sebagai penggunaan kekuatan secara ilegal dan berlebihan. Beberapa mahasiswa perempuan juga melaporkan pelecehan seksual oleh aparat.
Pastor Filiberto Velazquez Florencio, seorang pengacara dan pegiat HAM, menyoroti bahwa semua kasus ini memiliki benang merah yang sama: minimnya akuntabilitas polisi.
“Polisi menggunakan kekerasan berlebihan, lalu pemerintah memberikan narasi yang menyudutkan para mahasiswa,” katanya.
Melalui organisasinya, Pusat Minerva Bello, Pastor Velazquez membantu para mahasiswa yang mengalami kekerasan polisi. Ia kini mendampingi mahasiswa Mactumatza dalam mengungkap kebenaran atas kematian Vasquez, termasuk menganalisis rekaman video dan mengumpulkan kesaksian.
Dua Versi yang Bertolak Belakang
Kepolisian negara bagian Chiapas, khususnya satuan Fuerzas de Reaccion Inmediata Pakal (FRIP) atau “Pakales”, membantah terlibat dalam jatuhnya Vasquez dari truk.
Dalam pernyataan ke media lokal El Heraldo, juru bicara FRIP menyebut bahwa insiden itu terjadi akibat tindakan ugal-ugalan dari pihak mahasiswa.
Penyelidikan masih berlangsung. Namun, sejumlah laporan media menyebut adanya dugaan bahwa sekelompok mahasiswa sempat mencoba menyandera seorang polisi sebelum kejar-kejaran itu terjadi.
Namun versi berbeda disampaikan oleh Pastor Velazquez, berdasarkan keterangan para mahasiswa. Mereka menyebut bahwa malam itu mereka hendak mengambil alih sebuah bus pariwisata ketika sekitar 20 mobil patroli “Pakales” datang dan mengancam dengan senjata.
“Mereka diarahkan dengan senjata, diancam, dan saat aparat mulai menangkap beberapa mahasiswa, yang lain melarikan diri dan berpencar,” jelas Pastor Velazquez.
Maria juga mengaku bahwa kedatangan polisi dengan senjata membuat para mahasiswa panik dan berusaha kabur.
Dalam pengejaran itu, kata Pastor Velazquez, ada indikasi bahwa polisi melepaskan tembakan dan menabrak truk yang ditumpangi Vasquez. Salah satu rekannya bahkan terkena proyektil yang menyebabkan dia jatuh ke belakang.
Vasquez akhirnya dilarikan ke rumah sakit, namun nyawanya tak tertolong. Jaksa Agung Negara Bagian Chiapas menyatakan penyebab kematiannya adalah trauma di kepala, dan hingga kini belum ada bukti yang menunjukkan Vasquez tertembak. Namun, penggunaan senjata oleh polisi tetap sedang diselidiki.
Guru yang Dikenang
Bagi teman-temannya di Mactumatza, kematian Vasquez adalah simbol kekerasan aparat terhadap mahasiswa miskin. Maria menyayangkan proses penyelidikan yang dinilainya belum menyentuh akar persoalan.
“Mereka belum mendengar kesaksian kami. Mereka juga belum mempertimbangkan bukti yang kami miliki,” katanya.
Pihak kejaksaan menyatakan akan melibatkan kesaksian para mahasiswa dalam penyelidikan yang sedang berjalan.
Sementara itu, rekan-rekan Vasquez terus menggelar aksi damai di Tuxtla Gutierrez dan Kota Meksiko, menuntut keadilan atas kematiannya.
Mereka mengenangnya sebagai atlet basket yang berbakat dan guru yang penuh dedikasi. Vasquez sedang memasuki tahun terakhir kuliahnya ketika insiden itu terjadi.
Paula, mahasiswa lain yang juga memilih untuk anonim, mengatakan bahwa murid-murid Vasquez menangis saat mendengar kabar kematiannya.
“Tak ada yang bisa mengembalikan sahabat kami,” ucapnya. “Tapi kami akan terus menuntut keadilan untuknya.”


















