Wartaindonesia.web.id-Jakarta, 6 Agustus 2025 – Jagat media sosial dan ruang publik kembali diguncang oleh kabar mengejutkan terkait seorang narapidana kasus pemerkosaan terhadap seorang penjual gorengan yang mengajukan permohonan amnesti kepada Presiden Republik Indonesia. Permohonan ini memicu kontroversi luas dan kecaman dari berbagai pihak, termasuk aktivis perempuan dan masyarakat sipil.
Terpidana berinisial AG, yang divonis 12 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Bekasi pada tahun 2022 karena memerkosa seorang perempuan pedagang gorengan di kawasan Tambun, kini telah menjalani masa hukuman selama tiga tahun. Permohonan amnesti ini diajukan oleh kuasa hukum AG dengan alasan adanya “perubahan sikap dan penyesalan mendalam” dari kliennya.
Kasus yang terjadi tiga tahun lalu itu sempat menghebohkan publik karena korban adalah seorang ibu tunggal yang berjuang menghidupi anak-anaknya dengan berjualan gorengan di pinggir jalan. Aksi biadab pelaku dilakukan secara brutal, bahkan menyebabkan korban mengalami trauma psikologis berkepanjangan.
Permintaan amnesti oleh terpidana AG dinilai oleh banyak pihak sebagai bentuk pelecehan terhadap keadilan. Lembaga Perlindungan Perempuan Indonesia (LPPI) menyatakan bahwa permohonan tersebut tidak hanya melukai hati korban, tetapi juga menciderai perjuangan panjang melawan kekerasan seksual di Indonesia.
Ketua LPPI, Achmad Fauzi, menyebut bahwa pemberian amnesti terhadap pelaku kejahatan seksual adalah preseden buruk bagi hukum dan keadilan. “Amnesti seharusnya diberikan untuk kasus-kasus politis atau pelanggaran ringan, bukan untuk kejahatan seksual yang menyisakan luka mendalam bagi korban,” ujar Rina dalam konferensi pers, Rabu pagi.
Pihak Istana Negara belum memberikan komentar resmi terkait surat permohonan amnesti tersebut. Namun, sumber internal dari Kementerian Hukum dan HAM menyebutkan bahwa permintaan tersebut kemungkinan besar tidak akan diproses mengingat sifat berat dari kasusnya.
Masyarakat pun ramai-ramai menolak amnesti tersebut dengan membuat petisi online bertajuk “Jangan Ampuni Pemerkosa Penjual Gorengan”. Petisi ini dalam waktu singkat telah mengumpulkan lebih dari 250 ribu tanda tangan hanya dalam tiga hari sejak diluncurkan.
Di sisi lain, keluarga korban menanggapi permohonan itu dengan rasa sedih dan kecewa. “Dia sudah menghancurkan hidup adik saya. Sekarang malah minta diampuni? Di mana hati nuraninya?” ujar kakak korban kepada awak media sambil menahan tangis.
Kuasa hukum AG bersikeras bahwa kliennya telah menunjukkan perilaku baik di dalam lapas dan bahkan aktif dalam kegiatan keagamaan. Namun, argumen tersebut tidak cukup kuat di mata publik yang menilai bahwa penyesalan tidak bisa menghapus penderitaan korban.
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Prof. Dedi Nurcahyo, menyatakan bahwa amnesti bukanlah jalan keluar untuk kasus-kasus kekerasan seksual. “Jika ini dikabulkan, maka akan banyak narapidana lain yang mencoba memanfaatkan celah hukum untuk lolos dari tanggung jawab moral dan hukum,” katanya.
Kasus ini kembali membangkitkan urgensi revisi kebijakan pemberian amnesti dan grasi di Indonesia, serta pentingnya mendengarkan suara korban dalam setiap proses pengambilan keputusan hukum.
Banyak pihak berharap Presiden tidak mengabulkan permintaan yang dinilai sangat tidak etis ini.
Sementara itu, publik terus mengawal perkembangan kasus ini dengan harapan bahwa negara berpihak pada keadilan dan korban, bukan kepada pelaku. “Jangan biarkan keadilan diperjualbelikan,” tulis salah satu pengguna media sosial dalam unggahan yang kini viral.


















